Kamis, 21 Mei 2009

PEMEKARAN Setelah KONFLIK PAPUA BARAT

Resolusi Konflik Papua Barat Setelah Pemekaran

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Tengah Irian Jaya menimbulkan konflik pada masyarakat Barat, antara pemekaran. Kelompok pendukung melihat kebijakan tersebut akan mendorong percepatan pembangunan melalui jalur birokrasi pemerintahan yang diperpendek. Sebaliknya, kelompok penentang mengemukakan bahwa proses pemekaran tidak memperhatikan aspirasi rakyat Papua Barat sebagai satu kesatuan sejarah, adat, dan politik.

TULISAN ini berusaha untuk memandang pemekaran wilayah tidak dari aspek pro dan kontra, melainkan dalam konteks perubahan peta konflik sosial yang semakin kompleks di Papua Barat.

Sebelum ada kebijakan pemekaran, Papua Barat dapat dikategorisasikan ke dalam daerah yang mengalami konflik sosial vertikal, yaitu antara negara dan masyarakat. Organisasi yang melakukan perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni negara antara lain adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Front Rakyat Papua Barat (FRPB). OPM diduga melakukan aksi militer di perbatasan Papua Barat dan Papua Niugini, sementara FRPB melakukan penggalangan opini kemerdekaan Papua Barat di negara-negara Eropa.

Dhuroruddin Mashad dan Ikrar Nusa Bakti (1999) mengatakan bahwa terdapat lima faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya gerakan separatis di Papua Barat, yaitu sejarah, ekonomi, sosial budaya, politik, dan hukum.

Faktor sejarah menerangkan bahwa konflik vertikal ini berkaitan dengan kurangnya komunikasi politik antara masyarakat Papua Barat dan Pemerintah RI karena rendahnya pendidikan politik masyarakat.

Faktor ekonomi berkaitan dengan keberadaan Freeport McMoran yang dinilai tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Sementara aspek sosial budaya menunjukkan berbagai kebijakan budaya dari pemerintah pusat cenderung dianggap sebagai intervensi terhadap kebudayaan Papua. Adapun faktor politik dan hukum berhubungan erat dengan dominasi etnis non-Papua pada birokrasi pemerintahan daerah.

Reformasi nasional mendorong polarisasi elite-elite masyarakat dalam memperjuangkan Papua Barat. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya Presidium Dewan Papua sebagai kelompok semimoderat yang menuntut diakuinya eksistensi politik dan budaya Papua pada tingkat nasional. Beberapa tuntutan diajukan, misalnya otonomi khusus Papua dan pengakuan bendera/lagu kebangsaan Papua sebagai simbol budaya.

Keberhasilan gerakan kemerdekaan Timor Timur mendorong kelompok radikal untuk mengubah aksi militer ke aksi diplomasi. Hal tersebut dilakukan dengan menggalang opini kemerdekaan Papua Barat di negara-negara Australia , Selandia Baru , Fiji , dan Vanuatu . Sampai tahun 2003, Papua Barat masih digolongkan menjadi daerah konflik vertikal, tetapi pelaku-pelaku dan ruang lingkup konflik menjadi semakin meluas.

Pada sisi lain, pendekatan pemerintah dalam pengelolaan konflik Papua juga mengalami perubahan antara sebelum dan sesudah era reformasi. Pada masa Orde Baru, pemerintah lebih banyak menekankan pendekatan represif dengan menjadikan Papua Barat sebagai daerah operasi militer (DOM) sambil menerapkan kebijakan pembangunan yang bersifat kapitalistis. Sementara pada masa reformasi, pemerintah mulai melakukan pendekatan akomodasi untuk memperoleh dukungan rakyat Papua Barat.

Presiden BJ Habibie menghapus kebijakan DOM pada tahun 1998, tetapi meninggalkan bom waktu yang meledak di kemudian hari, dengan mengeluarkan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.

Sesudah itu, Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 1 Januari 2000 meminta maaf kepada masyarakat Papua atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan TNI dan mengubah nama Provinsi Irian Barat menjadi Papua.

Selanjutnya, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, tetapi juga menghidupkan kembali UU No 45/1999 melalui Inpres No 1/2003.

Sebagaimana dipaparkan di muka, kebijakan pemekaran wilayah ini seolah-olah membelah masyarakat Papua Barat menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Namun, apabila dilihat secara komprehensif, kebijakan ini telah mengubah peta konflik sosial dari konflik vertikal menjadi konflik vertikal dan horizontal. Konflik horizontal timbul dari perselisihan pendapat tentang pemekaran antara kelompok yang mendukung dan menentang, sedangkan konflik vertikal yang digerakkan oleh OPM dan FRPB seolah-olah dibiarkan atau sengaja dikaburkan oleh pemerintah.

Selain unsur-unsur pelaku konflik bertambah, tuntutan yang menjadi sumber konflik menjadi semakin bervariasi dari tuntutan kemerdekaan, otonomi khusus, pemerataan kesejahteraan, pemekaran provinsi, sampai pada pemeliharaan kesatuan wilayah dan identitas bangsa Papua. Tuntutan kemerdekaan ditanggapi pemerintah dengan otonomi khusus Papua, tetapi permasalahan baru muncul ketika kebijakan ini (UU No 21/2001) diikuti dengan pemekaran wilayah (UU No 45/1999) yang berbeda dalam melihat provinsi sebagai daerah otonomi khusus.

PEMERINTAH seharusnya belajar dari pengalaman masa lalu, di mana kebijakan resolusi konflik dilakukan sepihak menurut pandangan pemerintah pusat semata. Pemerintah pasca-Orde Baru ternyata melihat konflik Papua Barat seperti cara pandang pemerintah Orde Baru yang hanya menggunakan analisis ekonomi. Pemerintah melihat bahwa sumber konflik di Papua Barat adalah semata- mata masalah ekonomi yang berupa kurangnya kesejahteraan. Sebagai akibatnya, kebijakan yang diterapkan bertitik tolak dari pembangunan ekonomi. Kalau pemerintah Orde Baru melakukan pembangunan ekonomi dengan mengundang investor asing ke Papua Barat, pemerintah sekarang berusaha untuk memperpendek jalur birokrasi.

Apabila dilihat dari aspek pelayanan publik, kebijakan ini akan menimbulkan dampak positif, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dan memperpendek jalur birokrasi pemerintahan daerah. Namun, pemerintah kurang memperhatikan perbedaan pendapat yang belum selesai, yaitu kesepakatan antara masyarakat Papua Barat dan pemerintah maupun antarmasyarakat Papua Barat mengenai otonomi khusus Papua.

Pemerintah seharusnya bertolak dari kebijakan otonomi khusus Papua untuk menjaga agar rakyat Papua Barat tetap berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini sejalan dengan pendapat Ted Robert Gurr (1998) yang mengatakan bahwa salah satu pendekatan akomodasi dalam konflik etnik-politik adalah pemberian otonomi daerah dan pembagian kekuasaan.

Langkah selanjutnya adalah mendiskusikan dengan masyarakat Papua Barat bagaimana bentuk otonomi khusus yang diinginkan, yaitu meliputi cakupan kewenangan dan titik berat wilayah penerima otonomi. Cakupan kewenangan mengatur keleluasaan-keleluasaan yang dimiliki pemerintah daerah, misalnya pemilihan kepala daerah, pembentukan parlemen daerah, penggunaan simbol- simbol budaya, pengaturan urusan-urusan daerah, pembentukan aparat keamanan daerah, dan lain-lain.

Adapun titik berat wilayah menentukan apakah otonomi akan dipusatkan di provinsi atau di kabupaten. Kalau otonomi akan dipusatkan di kabupaten, wacana pemekaran wilayah baru akan menemukan relevansinya. UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sebenarnya telah mengatur bahwa titik berat otonomi pada pemerintahan provinsi (Pasal 4 Ayat 2). Dengan demikian, pemberlakuan UU No 45/1999 adalah suatu langkah mundur dalam pengelolaan konflik Papua Barat.

Terlepas dari proses penyusunan undang-undang yang diduga tidak melibatkan rakyat Papua Barat, pemerintah sebenarnya sudah berada pada jalur yang tepat untuk mengelola konflik dengan menetapkan UU No 21/2001. Pemerintah seharusnya mengambil langkah- langkah konkret mewujudkan pelaksanaan undang-undang tersebut, misalnya membicarakan pembentukan Majelis Rakyat Papua dan mendorong pemerintah provinsi untuk membuat peraturan daerah khusus/ peraturan daerah provinsi.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat mendorong berkembangnya proses dialog dengan rakyat Papua Barat secara langsung sehingga setiap pengambilan keputusan mengenai Papua Barat di tingkat nasional tidak direduksi oleh kepentingan elite politik lokal.

Dewasa ini, peta konflik sosial sudah berkembang menjadi semakin kompleks. Karena itu, kalau tidak dikelola dengan tepat, akan meningkatkan resistansi rakyat Papua Barat terhadap pemerintah pusat. Kalau jumlah masalah yang belum terselesaikan semakin meluas dan pihak-pihak yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah semakin bertambah, tantangan untuk mempertahankan integrasi Papua Barat dalam NKRI semakin berat.

Pemerintah pusat dalam waktu dekat seharusnya dapat mengambil kebijakan seperti berikut. Pertama, meneliti apakah pemekaran wilayah merupakan aspirasi sebagian besar masyarakat Papua Barat ataukah aspirasi elite politik lokal.

Kedua, mengkaji secara mendalam sejauh mana implikasi pemekaran terhadap keutuhan identitas politik, sosial/budaya, dan geografis Papua Barat.

Ketiga, memberikan kesempatan kepada masyarakat Papua Barat untuk menentukan masa depannya dalam kerangka NKRI.

Perubahan sepak bola Inggris